Data Analyst: Z-score vs Unsupervised Learning pada Anomaly Detection

Anomaly detection atau deteksi anomali merupakan teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi data yang menyimpang dari pola umum dalam suatu dataset. Seorang data analyst tentu membutuhkan teknik ini untuk mendeteksi ketidakwajaran dalam data, seperti kesalahan input, kecurangan transaksi, atau gangguan sistem yang dapat memengaruhi analisis dan pengambilan keputusan.
Adapun dua pendekatan yang sering digunakan oleh data analyst, yaitu metode statistik yang diwakili Z-score dan unsupervised learning yang berasal dari machine learning. Z-score bekerja dengan mengukur seberapa jauh suatu data dari rata-rata dalam satuan standar deviasi, sedangkan unsupervised learning menggunakan algoritma seperti Isolation Forest atau One-Class SVM untuk mengidentifikasi pola dan mendeteksi anomali dalam dataset yang lebih kompleks.
Berikut adalah penjelasan tentang perbandingan antara z-score dan unsupervised learning pada anomaly detection. Buat kamu yang bercita-cita menjadi seorang data analyst, simak penjelasannya yuk sahabat DQLab!
1. Kemampuan menangani data kompleks
Dalam dunia data, kompleksitas sering kali menjadi tantangan utama. Data yang memiliki banyak variabel, pola tersembunyi, atau struktur yang tidak jelas memerlukan pendekatan yang lebih canggih dalam analisis anomali. Jika kamu menggunakan Z-score, pendekatan ini hanya mampu menangani data dengan distribusi normal dalam satu atau dua dimensi.
Namun, ketika dataset memiliki banyak fitur atau hubungan antarvariabel yang kompleks, Z-score cenderung gagal mengidentifikasi anomali dengan baik. Data yang memiliki struktur non-linear, misalnya dalam gambar, data transaksi, atau sensor IoT, tidak bisa dianalisis hanya dengan menghitung rata-rata dan standar deviasi.
Sebaliknya, pendekatan unsupervised learning dirancang untuk mengenali pola dalam data yang lebih kompleks. Algoritma seperti Isolation Forest, One-Class SVM, dan DBSCAN dapat bekerja dengan baik pada dataset multidimensi tanpa perlu mengetahui distribusinya terlebih dahulu. Mereka mampu menangkap pola tersembunyi dan mengenali outlier yang tidak selalu terlihat secara statistik. Dengan kemampuan ini, kamu bisa menganalisis dataset yang lebih besar dan lebih rumit, seperti mendeteksi penipuan kartu kredit dengan ratusan fitur atau memantau sensor pada mesin industri yang memiliki banyak parameter.
Baca Juga: Bootcamp Data Analyst with SQL and Python
2. Kebutuhan tuning parameter
Ketika menggunakan Z-score, kamu tidak perlu terlalu banyak menyesuaikan parameter. Perhitungan Z-score hanya bergantung pada rata-rata dan standar deviasi, sehingga tidak ada konfigurasi tambahan yang diperlukan selain menentukan threshold untuk mengidentifikasi anomali. Biasanya, nilai ±3 dianggap sebagai batas umum untuk anomali dalam distribusi normal. Hal ini membuat Z-score sangat mudah digunakan, terutama dalam analisis data yang sederhana dan memiliki distribusi yang jelas.
Namun, dalam unsupervised learning, tuning parameter menjadi bagian yang sangat penting dalam mencapai hasil yang optimal. Misalnya, dalam Isolation Forest, kamu perlu menyesuaikan jumlah pohon yang digunakan dan proporsi data yang dianggap sebagai anomali.
One-Class SVM memerlukan pemilihan kernel yang tepat, dan DBSCAN memerlukan pengaturan parameter seperti epsilon (jarak antar titik) dan minimum jumlah sampel dalam cluster. Tanpa penyetelan yang tepat, model bisa terlalu sensitif atau justru gagal menangkap anomali dengan baik. Oleh karena itu, kamu perlu melakukan eksperimen dan validasi untuk menemukan konfigurasi terbaik bagi dataset yang sedang dianalisis.
3. Distribusi Data
Distribusi data adalah faktor penting dalam memilih metode anomaly detection. Jika kamu memiliki dataset yang mengikuti distribusi normal, maka Z-score bisa menjadi pilihan yang tepat. Z-score bekerja dengan asumsi bahwa sebagian besar data terdistribusi di sekitar rata-rata dan hanya sebagian kecil yang menyimpang. Namun, masalah muncul ketika data memiliki distribusi yang tidak normal, seperti distribusi bimodal, eksponensial, atau skewed. Dalam kasus ini, Z-score bisa menghasilkan banyak kesalahan karena batasan yang diterapkan tidak lagi sesuai dengan pola alami dalam dataset.
Sebaliknya, pendekatan unsupervised learning tidak bergantung pada asumsi distribusi tertentu. Model seperti DBSCAN misalnya, mendeteksi anomali berdasarkan kepadatan data, bukan berdasarkan deviasi dari mean. Ini berarti metode ini dapat bekerja dengan baik bahkan pada dataset dengan distribusi yang tidak teratur. Oleh karena itu, jika kamu menghadapi dataset dengan pola yang tidak bisa direpresentasikan oleh distribusi normal, metode machine learning yang lebih fleksibel dapat memberikan hasil yang lebih akurat dan andal.
Baca Juga: Data Analyst vs Data Scientist
4. Kapan Menggunakan Z-score dan Unsupervised Learning?
Memilih antara Z-score dan unsupervised learning tergantung pada kebutuhan dan karakteristik dataset yang kamu miliki. Jika dataset yang kamu analisis relatif kecil, memiliki distribusi normal, dan kamu membutuhkan solusi cepat serta mudah dipahami, maka Z-score bisa menjadi pilihan yang tepat. Z-score bekerja dengan baik dalam kasus sederhana, seperti mendeteksi outlier pada data sensor suhu atau nilai ujian mahasiswa. Selain itu, jika interpretasi hasil menjadi prioritas utama, Z-score lebih mudah dijelaskan kepada tim non-teknis karena berbasis konsep statistik yang umum digunakan.
Namun, jika kamu bekerja dengan data yang lebih besar, kompleks, dan tidak memiliki distribusi yang jelas, maka unsupervised learning lebih direkomendasikan. Metode ini sangat cocok untuk mendeteksi anomali dalam transaksi keuangan, analisis log keamanan siber, atau pemeliharaan prediktif dalam industri.
Meskipun unsupervised learning memerlukan lebih banyak tuning dan sumber daya komputasi, ia mampu menangani kasus-kasus yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan statistik sederhana. Oleh karena itu, pemilihan metode harus disesuaikan dengan jenis data dan tujuan analisis yang ingin dicapai.
Z-score adalah metode sederhana yang efektif untuk dataset kecil dengan distribusi normal, sedangkan unsupervised learning lebih fleksibel dan cocok untuk data besar dan kompleks. Pemilihan metode tergantung pada kebutuhan spesifik, seperti kecepatan, interpretabilitas, dan kompleksitas data yang dianalisis.
Jika kamu mencari solusi cepat dan mudah, Z-score bisa menjadi pilihan. Namun, jika menginginkan hasil yang lebih akurat untuk dataset yang kompleks, maka unsupervised learning adalah pendekatan yang lebih tepat.
FAQ:
1. Kapan sebaiknya kamu menggunakan Z-score dibandingkan unsupervised learning?
Gunakan Z-score jika dataset kamu kecil hingga menengah, memiliki distribusi normal, dan kamu membutuhkan metode yang cepat serta mudah dipahami. Jika dataset lebih kompleks atau tidak mengikuti distribusi normal, unsupervised learning bisa menjadi pilihan yang lebih baik.
2. Apa kelemahan terbesar Z-score dalam anomaly detection?
Z-score sangat sensitif terhadap outlier karena rata-rata dan standar deviasi bisa dipengaruhi oleh data ekstrem. Selain itu, metode ini kurang efektif jika data tidak mengikuti distribusi normal atau memiliki pola anomali yang kompleks.
3. Apakah unsupervised learning selalu lebih baik daripada Z-score?
Tidak selalu. Meskipun unsupervised learning lebih fleksibel dan mampu menangani data yang kompleks, metode ini memerlukan lebih banyak sumber daya komputasi dan sering kali sulit diinterpretasikan. Jika dataset kamu sederhana dan memiliki distribusi normal, Z-score bisa menjadi solusi yang lebih cepat dan efisien.
Jika kamu ingin mempercepat karirmu di dunia data, bergabunglah dengan Bootcamp Data Analyst with SQL and Python di DQLab! Di sini, kamu akan mendapatkan pelatihan intensif yang siap membawamu ke level berikutnya. Jangan lewatkan kesempatan ini, daftarkan dirimu sekarang! DQLab menyajikan materi secara teori maupun praktek. Selain itu di DQLab pun menyediakan berbagai modul dan ebook dengan materi yang beragam sesuai kebutuhan. Cara bergabungnya sangat mudah. Langsung saja sign up di DQLab.id dan nikmati belajar data science!
Penulis: Reyvan Maulid